Search This Blog

Saturday, November 10, 2018

Guns n Roses "Not in This Lifetime Tour 2018" : Bukti Rindu yang Mengalahkan Benci


Halaman Stadion Gelora Bung Karno – Senayan
Kamis sore, 8 November 2018.

Jadi ceritanya saya lagi nungguin teman dari Bandung yang belum datang. Unexpected friend sih, karena rencana awal bukan dengan teman yang ini. Tapi daripada saya datang sendirian, lebih merana lagi kan?
Nah, malam itu kami mau nonton konser band rock legendaris yang namanya sudah tenar dimana-mana. Buat generasi 80 - 90an, pasti tahulah siapa itu Axl Rose, siapa itu Slash.
Yup, Guns n Roses.

Saya tiba-tiba ingat dulu pernah ada poster GnR ditempel di dinding dapur. Kakak saya dulu memang hobi nempelin poster band favoritnya di semua sudut rumah, bahkan kalo perlu sampe ke toilet dan kamar mandi juga. Kenapa bisa ditempel di dapur? Karena kamarnya sudah penuh dengan Duran-Duran, Def Leppard, Scorpions, Rambo sampe Chuck Norris.
Axl - Duff - Slash - Izzy - Steven
Oke balik ke poster GnR tadi. Posternya itu bergambar logo 2 pistol dan bunga mawar, juga pose member grupnya. Yang saya ingat vokalisnya itu dulu (dulu ya) sangat sangat sangat ganteng bin keren. Rambutnya pirang lurus banget, pakai bandana, hidung mancung, tulang wajahnya tegas, matanya tajam. Pokoknya cakep deh. Bahkan Jon Bon Jovi aja menurut saya waktu mudanya dulu nggak seganteng Axl (padahal sekarang baru sadar kalo dulu yang paliiiing ganteng di grup ini bukan Axl tapi Izzy Stradlin).


Izzy Stradlin
Izzy then and now

Itu Izzy kenapa tuanya masih aja cute gitu ya tampangnya? Nggak nyangka dulu dia tergolong bad boy, haha... tapi keren sih. Sayang dia nggak mau join reuni. Dulu misterius, sekarang pun tetap misterius. Cewek-cewek era 80-an yang demen cowok cool dijamin naksir dah sama young Izzy .
Kalo Slash, jujur saya nggak begitu ngeh dengan tampang asli gitaris beken ini. Yaa tau sendiri kan mukanya always samar-samar gitu. Untung aja Saul Hudson ini bukan orang Korea. Sekalinya dia kena wajib militer, bakal keliatan rupa aslinya kayak apa hehe…
Saul Hudson aka Slash
Tapi sejatinya, saya bukan fans Guns n Roses, lho. Nonton konser band favorit manca memang impian sedari remaja, tapi GnR nggak pernah masuk dalam list saya. Wajar, karena mereka bubar saat saya masih SD, dan cuma sebatas tau musiknya dari kaset-kaset yang sering diputar kakak.
Lho, bukan fans ngapain nonton?
Lah, memangnya nggak boleh?
Awalnya gara-gara Chester Bennington pergi nggak pamitan yang ujung-ujungnya bikin Linkin Park batalin konser mereka di ICE – BSD City tahun kemarin. Bayangin, kamu ngefans 17 tahun sama satu band dan ngelewatin dua kesempatan buat nonton konser mereka di Indonesia selama 17 tahun itu. Trus kesempatan ke-3 datang, kamu udah excited banget buat nonton tapi tiba-tiba impianmu hancur sia-sia karena vokalisnya pergi nggak bilang-bilang. Mending kalo cuma pergi sebentar (yang bisa balik lagi alias reuni), nah ini pergi selama-lamanya ke dimensi yang beda pula! Kecewa. Bener-bener kecewa. Tapi Tuhan pasti punya rencana, entah itu apa. Hanya saja saya kadang masih bertanya-tanya kenapa Tuhan belum kasih saya kesempatan ketemu band favorit saya itu padahal sudah 18 tahun (sekarang). Sudah selama itu.
Jadi… rasa kecewa itu yang bikin saya tertarik nonton GnR ini karena penasaran sama atmosfer konser band rock manca. Kebetulan mereka juga punya banyak fans di Indo, venue yang dipake juga nggak main-main (nggak sembarang band bisa manggung di GBK lho, dan LP dulu pernah tampil di sana tahun 2011), akhirnya beli deh tiketnya.
My wristband
Singkat cerita pas hari H saya sudah sampe di area GBK jam 5.45 sore. Masih terang, tapi sudah rame banget. Pas lagi nunggu teman itulah saya ketemu dengan dua perempuan yang sudah berumur tapi gayanya nyentrik abis. Mereka bilang dari Bandung dan kami sempat ngobrol-ngobrol. Saya ngerasa agak familier dengan salah satunya tapi nggak ingat wajahnya mirip siapa, yang pasti dia cantik dengan hijab doreng ala tentara. Baru setelah hampir dua jam saya sadar kalo dia penyanyi rock wanita paling keren pada jamannya, waktu saya masih kecil dulu. Mel Shandy. Kakak saya sudah heboh di chat Whatsapp tapi saya cuek aja dan nggak mau nurutin kakak saya yang nyuruh minta foto. Maklum, kakak saya suka banget sama lagu “Nyanyian Badai” yang nunjukkin vocal melengking-lengking ngeri ala Mel Shandy.
Well, saya akhirnya masuk venue konser setelah 3 jam nunggu teman saya di luar. Dia datang sepuluh menit sebelum Duff McKagan cs naik panggung. Belum juga dapat tempat duduk eh lampu stadion sudah padam berbarengan dengan VCR yang muncul di layar raksasa. Nggak lama untuk pertama kalinya saya dengar teriakan khas Axl menggema sampe ke atap stadion. Suaranya masih lumayan, tapi memang umur nggak bisa bohong ya, ada nada-nada tinggi yang nggak bisa lagi dia jangkau. Dan yang pasti look-nya. Saya ketawa-ketawa sendiri kalo ingat betapa gantengnya dulu seorang Axl Rose, dan ngelihat Axl yang sekarang bener-bener nggak percaya kalo itu orang yang sama. Gimana bisa sedrastis itu perubahannya? Saya kok nggak menemukan kemiripan Axl muda dan Axl 56 tahun. Rambutnya sekarang pendek sebahu. Oke mungkin bentuk bibirnya masih keliatan sama, tapi mata, hidung sama tulang wajah kok beda? Belum lagi perutnya yang sekarang buncit, jadi mau loncat sana sini agak susah. Hahaha… malah pusing mikirin tampilannya Axl. Maaf ya, no offense lho.
Axl Rose then and now (1)
Axl Rose then and now (2)
Axl Rose then and now (3)
Axl Rose then and now (4)
Duff McKagan then and now
Memang sih dari awal juga nggak expect yang muluk-muluk karena Axl kan sudah kepala lima. Chester yang baru masuk kepala empat aja suaranya sudah beda jauh dibanding tahun 2004 dulu, jangkauan nada tingginya agak berkurang plus napasnya mulai ngos-ngosan. Jadi ya saya bisa maklumi itu. Makanya saya lebih pay attention to Slash. Umur boleh tua tapi skill main gitarnya pasti nggak menurun dong, beda sama vokalis yang modalnya pita suara. And it was true. Slash killed the show. Solo guitar-nya ngebawain soundtrack The Godfather yang paling saya suka, selain udah pasti part2 dia di November Rain yang melegenda itu. Sempet sih ngarep dia main solo gitar November Rain sambil naik di atas pianonya Axl, kayak yang di video klip, haha… nggak ingat umur ih.



Sejauh yang saya lihat Slash dapat teriakan yang paling seru dari penonton ketimbang personel lain bahkan pentolan grupnya sekalipun. Mungkin karena ini pertama kalinya Slash manggung di Indonesia sebagai bagian dari GnR karena sebelumnya di 2012 GnR konser di Jakarta tanpa dia. FYI, Slash yang keluar dari band tahun 1996 pernah berseteru dengan Axl dan nggak saling tegur sapa sampe hampir 20 tahun lamanya! Gila nggak tuh. Media-media bikin lansiran perang komentar keduanya yang nunjukkin kalo mereka nggak akan mau tampil sepanggung lagi, sampe mati pun nggak bakal ada reuni. Tapi, sekali lagi, rencana Tuhan siapa yang tau? Sekeras dan sepedas apa pun komentar Axl soal Slash (dan sebaliknya) nyatanya sekarang mereka berdua ada di satu panggung di stadion Indonesia paling ikonik. Mungkin sebenernya mereka itu selama hampir 20 tahun gengsi buat memulai rekonsiliasi duluan, yaa semacam benci tapi rindu gitu lah. Pada akhirnya rindu bisa ngalahin benci kan? Eeaa…
Suasana di dalam SUGBK
Momen-momen paling seru itu waktu mereka bawain lagu-lagu hits dan seisi stadion kompak nyayiin koor yang bikin merinding di lagu Welcome to The Jungle, Sweet Child O’Mine, November Rain, Knockin’ on Heaven’s Door, Patience sampe Don’t Cry. Paradise City jadi lagu penutup konser 3 jam itu. Overall layak banget ditonton karena formasi reuni Axl – Slash – Duff kayak hal yang tadinya mustahil jadi bisa terwujud. Saya akhirnya ngelihat dan dengar sendiri gimana seorang Saul “Slash” Hudson membuktikan kalo dia pernah (dan masih) jadi gitaris papan atas dunia. Kalo sudah begini jadi kangen sama mantan teman kantor di Solo yang memang jago main gitar melodi dan pernah ngeband bareng.
Di akhir show Axl lemparin mic-nya ke penonton yang langsung jadi rebutan. Slash juga nggak mau kalah lemparin gitar Gibson Les Paul-nya beberapa pic gitar sebelum adegan jungkir balik yang bikin seisi stadion ketawa ngakak. Duh, aki-aki satu ini kirain cool tapi gokil juga ternyata. Mana itu kaos death metal-nya lucu banget gambarnya ya ampun …

Sekitar jam 11.20 konser selesai, dan hujan pun turun. Pawangnya kali ini keren dibandingin sama Closing Asian Games September kemarin. And thanks God saya nggak susah buat dapat transport pulang ke BSD.
November tahun ini jadi yang paling berkesan dibanding November-November yang pernah ada. Dengerin dan nyanyi lagu November Rain bareng artisnya langsung di bulan November. Perpaduan yang sempurna, bukan?
Salam Rock n Roll.




Saturday, October 20, 2018

REVIEW: Buku Biografi Pierre Tendean "Jejak Sang Ajudan"

Buku Biografi Pierre Tendean: Jejak Sang Ajudan

Judul               : Jejak Sang Ajudan; sebuah biografi Pierre Tendean
Penulis            : Ahmad Nowmenta Putra dan Agus Lisna
Penerbit          : Yogyakarta: LeutikaPrio (PT Leutika Nouvalitera)
Terbitan          : Agustus 2018
Tebal               : 214 halaman
Genre              : Non fiksi
ISBN                : 978-602-371-621-0
Harga              : Rp.140.000,00

Mendengar nama Pierre Tendean, apa yang muncul di benak kalian?
Sebagian besar mungkin teringat dengan peristiwa G30S 1965. Ada juga yang langsung terbayang paras tampannya yang khas blasteran Indo – Eropa. Sisanya barangkali akan menghubungkan dengan nama sebuah jalan di Jakarta yang terkenal macet.
Lalu siapa sosok Pierre Tendean yang sebenarnya? Apa yang membuatnya terlibat dalam sejarah kelam bangsa kita 53 tahun yang lalu? Mengapa namanya dijadikan sebagai nama jalan di banyak kota di Indonesia? Dan apakah dia benar-benar tampan?
Menta dan Lisna yang sama-sama menyukai sejarah menuangkan hasil riset mereka dalam sebuah buku biografi berjudul Jejak Sang Ajudan. Buku ini digagas oleh Menta yang punya ketertarikan besar pada kiprah Kapten Pierre Tendean, dengan menggandeng Lisna yang notabene adalah penulis blog yang populer di kalangan penggemar sang Kapten.
Dilihat dari covernya, buku ini tampak menarik dengan foto Pierre berseragam hijau TNI AD di atas dasar putih. Masuk ke halaman pertama kita disuguhi kolase foto-foto beliau dengan berbagai pose, yang sudah barang tentu mengundang mata ini untuk melihat lebih jeli lagi. Salah satu hal yang saya suka dari buku ini adalah penyajian foto-foto Pierre Tendean yang berwarna, yang belum pernah saya temukan di buku lain manapun yang pernah ada.

SINOPSIS
Buku ini berkisah tentang perjalanan hidup salah satu Pahlawan Revolusi termuda, Pierre Tendean, sejak beliau lahir sampai gugur di usia 26 tahun. Pierre Tendean dikenal ceria, bertoleransi tinggi dan bergaul dengan semua kalangan sejak belia, meskipun lahir dari keluarga berada. Masa kecilnya diisi dengan banyak aktivitas menyenangkan bersama kakak dan teman-teman sepermainannya. Menginjak usia remaja Pierre yang aktif dalam kegiatan sekolah ternyata juga pernah terlibat perkelahian antar pelajar hingga harus mendapat pendisiplinan dari yang berwenang. Ketertarikannya pada dunia militer tumbuh seiring Pierre beranjak dewasa.
Setelah melalui beberapa trik untuk bisa meyakinkan orang tua agar mengijinkannya masuk ranah militer, akhirnya Pierre Tendean berhasil mewujudkan mimpinya menjadi taruna TNI AD berpangkat Letnan Dua. Berbagai tugas berbahaya diembannya selepas lulus pendidikan taruna, salah satunya menjadi agen intelijen di Malaysia pada masa Dwikora. Kepiawaiannya dalam bertugas membuat Jenderal AH Nasution tak ragu menjadikannya ajudan, selain karena memang Pierre sudah dikenal oleh keluarga pak Nas sejak kecil. Maka terhitung Pierre Tendean menjadi ajudan Menko Hankam/ Kepala Staff ABRI itu selama kurang dari enam bulan, hingga beliau dinyatakan gugur pada 1 Oktober 1965 pagi dalam sebuah gerakan yang dinamakan G30S.
 
Halaman buku yang memuat foto berwarna
Buku berisi tujuh bab ini dimulai dengan kisah lahirnya Pierre Tendean pada akhir 1930-an. Penulis menjabarkan detail suasana saat itu dengan bahasa yang puitis sampai saya larut layaknya sedang membaca kisah fiksi. Padahal ini buku biografi, lho. Menta dan Lisna menggiring imajinasi pembaca untuk ikut masuk ke dalam kisah yang sedang disajikan, lewat gaya tulisan yang kaya dengan kosakata. Kebetulan saya suka belajar kosakata baru, dan membaca bab-bab awal ini bisa menambah perbendaharaan kata saya yang tidak seberapa. Pada bab-bab berikutnya penulis masih mempertahankan gaya bahasa puitisnya ini, tapi tidak sampai pada keseluruhan bab. Kemungkinan karena di beberapa bagian disisipkan kutipan naskah dari banyak sumber.
Secara alur, saya melihatnya sebagai alur yang maju – mundur. Di saat saya sedang asyik menyelami sebuah kisah yang tertulis di situ, tiba-tiba saya ditarik mundur ke belakang untuk memahami peristiwa yang terjadi sebelumnya, entah itu terkait secara langsung maupun hanya sebagai latar belakang kisah. Pastinya penulis menggunakan itu sebagai flashback untuk memberikan tambahan penjelasan pada pembaca tentang peristiwa yang terjadi sesudahnya.
Dilengkapi dengan banyak tampilan foto berwarna
 Info yang diberikan Menta dan Lisna di buku ini sangat lengkap. Jadi pembaca tidak perlu khawatir mengenai latar belakang tempat maupun suasana karena ada banyak kutipan sumber yang dimasukkan dalam naskah. Misalnya saja saat dokter AL Tendean dibawa oleh gerombolan PKI pada tahun 1948, maka penulis menyertakan info seputar pemberontakan PKI di Madiun pada tahun yang sama. Di satu sisi penambahan kutipan ini menambah wawasan kita tentang situasi saat itu, tapi di sisi lain membuat saya kehilangan fokus pada kisah Pierre itu sendiri karena jangkauan pemahaman kejadiannya menjadi lebih luas. Mungkin saya harus lebih bisa memfokuskan diri dalam hal ini, haha… 😅
Secara keseluruhan saya paling tersentuh dengan bab terakhir yang mengisahkan masa-masa berkabung keluarga Tendean pasca gugurnya Pierre. Meskipun gaya penulisannya lebih sederhana dibanding bab awal, tapi saya tetap bisa hanyut menyelami kisah di dalamnya. Saya bahkan sempat mbrebes saat membaca bab ini lho, saking bapernya.
Untuk yang mengaku penggemar sejarah, atau bahkan yang hanya menaruh minat pada sosok Kapten legendaris Indonesia ini, pokoknya buku ini wajib ada di ruang baca kalian. Selain karena ada banyak foto berwarna di dalamnya, buku ini juga dicetak menggunakan kertas berkualitas. Dijamin nggak bakal nyesel deh.

Nah, jadi itu review saya untuk buku biografi Pierre Tendean. Semoga bisa memberi gambaran buat teman-teman yang ingin mendapatkan bukunya 😊